MANADO, PROSULUT.com – Wakil Ketua DPRD Sulut Dr. Johanes Victor Mailangkay, SH, MH prihatin dengan aktivitas pertambangan yang dilakukan PT TMS, yang diduga tampa izin.
Itulah sebabnya, sebagai bentuk dukungan terhadap perjuangan masyarakat Kabupaten Sangihe untuk menolak pertambangan tersebut, Mailangkay siap mengawal perjuangan masyarakat tersebut.
Sebagai Wakil Ketua DPRD Sulut, kata Mailangkay kepada PROSULUT.com lewat WashApp, Minggu (16/1/2022), ia akan terus memperjuangkan aspirasi ini untuk menyelamatkan Kabupaten Sangihe dari kehancuran yang akan dilakukan oleh PT TMS.
“Saya akan terus memperjuangkan aspirasi masyarakat terkait pertambangan di Sangihe untuk menyelamatkan warga masyarakat dari kehancuran pertambangan ini, biarpun harus bolak balik Jakarta dan mencari tempat untuk menyuarakan penolakan ini,” ujarnya.
Ketua GM FKPPI Sulut dan mantan Sekretaris PPM Sulut ini lantas mengurai bagaimana perjuangan masyarakat untuk menolak pertambahan tersebut.
Perjuangan masyarakat Sangihe tak pernah padam. Sejak awal April tahun 2021 masyarakat Kabupaten Sangihe, Sulawesi Utara melawan adanya aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh PT Tambang Mas Sangihe (TMS).
Perjuangan masyarakat ini adalah menyelamatkan pulau Sangihe dari ancaman perusakan lingkungan massif yang akan berdampak buruk pada kehidupan manusia, flora dan fauna.
Beberapa waktu belakangan ini, tatanan kehidupan masyarakat Sangihe terusik, gelisah bahkan ketakutan setelah mengetahui bahwa Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Ridwan Djamaludin telah mengeluarkan ijin SK Produksi bernomor 163.K/MB.04/DJB/2021 kepada PT Tambang Mas Sangihe (TMS) dengan luas konsesi sebesar 42.000 hektar. Itu artinya lebih dari setengah dari luas pulau Sangihe diekploitasi secara massif oleh PT TMS selama 33 tahun sampai tahun 2054.
Setelah mendengar proses penolakan dan mendengar aspirasi penolakan masyarakat terhadap kegiatan pertambangan di Kabupaten Sangihe, Mailangkay menyatakan mendukung upaya penolakan tersebut sejak tahun 2021 dan siap mengawalnya.
“Dari setahun yang lalu hingga saat ini saya tetap berjuang bersama masyarakat terkait aspirasi menolak akan Pertambangan oleh PT Tambang Mas Sangihe,” tandasnya.
Mailangkay menyebutkan perjuangan ini adalah wujud tanggungjawab sebagai wakil rakyat yang mewakili suara rakyat termasuk mendukung sepenuhnya aspirasi dan perjuangan Koalisi Save Sangihe Island (SSI) yang melapor PT TMS ke Polda Sulut, Mabes Polri hingga Presiden RI serta adanya gugatan masyarakat Sangihe ke PTUN Jakarta.
“Pertambangan yang akan dilakukan oleh PT Tambang Mas Sangihe ini tidak mempunyai izin yang lengkap dan sangat bertentangan dengan UU yang berlaku,” jelas Mailangkay.
“Upaya untuk tetap melakukan penambangan di pulau Sangihe jelas-jelas mencederai UU Nomor 1 Tahun 2014 perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2007 yang menjelaskan bahwa terdapat beberapa poin pemanfaatan pulau-pulau kecil yang didalamnya tidak ada penambangan sebagai poin pemanfaatan pulau-pulau kecil, ” tegasnya.
Koalisi Save Sangihe Island (SSI) telah melaporkan Korporasi (PT TMS) Ke Polda Sulawesi Utara, Mabes Polri hingga Presiden RI.
Yang menjadi alasan pelaporan PT TMS adalah pertama, PT TMS tidak memiliki Izin Pemanfaatan Pulau dari Menteri Kelautan dan Perikanan RI sebagaimana ketentuan Pasal 26A ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Secara eksplisit melarang PT TMS melakukan aktivitas pertambangan emas di Pulau Sangihe karena tidak memiliki izin pemanfaatan pulau. Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya dalam rangka penanaman modal asing harus mendapatkan izin menteri.
Kedua, penambangan mineral di pulau-pulau kecil dilarang sebagaimana ketentuan Pasal 35 huruf k UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, berbunyi : Dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis, ekologis, sosial, dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya.
Ketiga, pasal 134 ayat (2) UU No. 3 Tahun 2021 Perubahan Atas UU 4/2009 tentang Minerba, berbunyi : Kegiatan usaha pertambangan tidak dapat dilaksanakan pada tempat yang dilarang untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Keempat, berdasarkan uraian di atas, jelas, kegiatan PT TMS operasi produksi pertambangan emas di Pulau Sangihe sedang berlangsung tanpa izin-izin yang sah menurut hukum, yang perbuatan yang melawan hukum yang diancam dengan pidana penjara Pasal 158 UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba.
Kelima, Kamis, 13 Januari 2022 kembali digelar sidang gugatan Warga Pulau Sangihe di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta melawan Menteri ESDM dan PT TMS, dengan agenda sidang acara pembuktian dengan mendatangkan 3 orang saksi fakta dari pihak penggugat dan penggugat intervensi. (*)