PROSULUT.com, MANADO – Para dosen yang tergabung dalam organisasi Aliansi Dosen Akademik dan Kevokasian Seluruh Indonesia (ADAKSI) Wilayah Sulawesi Utara, menggelar aksi damai pada Selasa, 20 Mei 2025, di depan Kantor Rektorat Unsrat.
Para penuntut keadilan itu mendatangi Kantor Rektorat Unsrat dengan jalan kaki dan mulai berorasi pukul 08.30 WITA.
Aksi yang dilakukan bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional itu mengusung tajuk “Bangkitlah! Tegakkan Keadilan”. “Hari Kebangkitan Unsrat,” kata Adinda Nelwan (dosen Fatek), Boyke Torimpandey (Fapet), dan Rivo Sumampouw (Fisip) kepada wartawan secara bersamaan.
Berikut 4 butir tuntutan kepada Rektor Unsrat, Prof. Dr. Ir. Oktovian Berty Alexander Sompie, M.Eng, IOU, ASEAN Eng.
Walaupun hanya diterima oleh 4 Wakil Rektor, karena menurut Wakil Rektor Bidang Akademik, Arthur Gehart Pinaria, rektor sedang tugas luar, para penuntut keadilan itu tetap menyampaikan tuntutan mereka.
Keempat butir tuntutan itu, pertama, remunerasi minimal setara nilai Tukin untuk seluruh dosen. Sebab menurut Menkeu, PTN klaster BLU Remunerasi dan PTNBH tidak mendapat Tukin karena sudah menerima remunerasi. Secara logika, itu berarti besaran atau nilai Tukin sudah termasuk (include) dalam setiap penerimaan remunerasi dengan tabel penerimaan Tukin berdasarkan golongan. Butir (A), Guru besar, Lektor Kepala, Lektor. , Assisten ahli.
Penerimaan ini berlaku untuk seluruh dosen tanpa kecuali (mutlak).
Jika menggunakan P1, maka minimal nilai atau besarannya diberikan pada saat itu per bulan.
Butir (B), sedangkan untuk P2 tanpa harus ada pembatasan capaian 12 poin, karena sudah terhitung dalam BKD masing-masing dosen, kecuali dosen tersebut tidak memenuhi persyaratan LKD atau tidak memasukannya. Sebagai tambahan, ada PT lainnya tidak mengenal dengan pembatasan 12 poin untuk menerima P2.

Selanjutnya, besaran nilai poin antara dosen dengan tugas tambahan (DT) dengan dosen tanpa tugas tambahan (D) dalam penerimaan P2, terjadi kesenjangan yang sangat jauh. Jauh dari keadilan.
Padahal, peran dosen biasa dalam menjalankan proses belajar-mengajar sebagai tugas utama dalam pendidikan, jauh lebih rajin dan efektif jika dibandingkan dengan dosen dengan tugas tambahan (DT), karena sudah terbebani dengan tugas-tugas administratif dan lain-lain.
Hal ini hanya sebagai salah satu contohnya.
Belum lagi soal sikap para pimpinan fakultas atau jurusan yang seringkali pilih kasih terhadap dosen biasa dalam hal jumlah mata kuliah, pembimbingan, penguji proposal, skrispsi, kepanitiaan, dan semua yang terkait dengan poin-poin untuk mendapatkan remunerasi.
Kedua, para penuntut keadilan itu meminta agar kembalikan ke BLU non remunerasi jika tidak minimal setara Tukin
Mencermati situasi dan kondisi sekarang, keuangan atau dana Unsrat tampaknya belum bisa memenuhi berbagai kebutuhan, baik berupa infrastruktur maupun tingkat kesejahteraan dosen termasuk meningkatkan kesejahteraan dosen lewat penerimaan remunerasi minimal setara Tukin.
Alasannya, Unsrat telah memaksakan dirinya untuk menjadi PTN BLU remunerasi tanpa melewati persyaratan yang semestinya atau belum betul-betul siap dengan konsekwensinya.
Tidak seperti PTN BLU remunerasi lainnya yang sudah punya cukup modal untuk memenuhi kebutuhannya, misalnya telah memiliki pompa bensin, hotel, mall, rumah sakit, dan sebagainya.
Jika hal ini menjadi alasan untuk tidak mampu meningkatkan kesejahteraan dosen lewat pemberian remunerasi minimal setara Tukin, maka kami menuntut Unsrat kembali klasternya ke PTN BLU non remunerasi seperti UNIMA yang menerima remunerasi.
Status atau klaster ini kan merupakan sebuah kebijakan yang bisa ditinjau kembali. Penurunan klaster (downgrade) juga ada regulasinya.
Ketiga, menolak kenaikan UKT. Kenaikan UKT bisa terjadi dengan berbagai alasan, misalnya saja untuk menutupi anggaran yang belum tercukupi dalam pemenuhan kebutuhan dalam hal pengadaan atau peningkatan infrastruktur maupun untuk peningkatan kesejahteraan dosen. Untuk itu, kami menolak jika ada kebijakan kenaikan UKT dengan alasan apapun. Bahkan kami berpendapat, jika keuangan kampus Unsrat dikelola dengan baik dan tanpa korupsi, maka bukan tidak mungkin UKT bisa diturunkan atau ditiadakan, mengingat kampus Unsrat mempunyai semboyan SI TOU TIMOU TUMOU TOU.
Keempat, jika tidak peduli dengan kesejahteraan dosen, kami minta rektor mundur dari jabatannya.
Yang di maksud dengan kesejahteraan dosen di sini, adalah seluruh dosen khususnya dosen biasa atau non DT, dengan kebijakan kenaikan penerimaan remunerasi minimal setara dengan Tukin.
Jika Rektor tidak peduli dengan tuntutan kami di atas, maka kami beranggapan, Rektor tidak memiliki integritas, kapabilitas dan rasa keadilan (sense of justice) yang semestinya ada dalam kepemimpinan.
Maka kami menutut agar supaya Prof. Dr. Ir. Berty Sompi segera turun dari jabatannya sebagai Rektor Universitas Sam Ratulangi.
Menurut Pembina ADAKSI Wilayah Sulut, Boyke Rorimpandey, aksi tersebut diikuti 300 orang yang terdiri dari 100 dosen dan 200 mahasiswa.
Pihak rektorat akhirnya mengambil kebijakan, perkuliahan mulai 20 hingga 23 Mei 2025 akan dilakukan secara daring. Para Satpam dan Wakil Rektor III menghalang-halangi mahasiswa yang ingin masuk kampus untuk berpartisipasi dalam aksi itu.
Suasana kampus tampak lengang. “Kasihan mahasiswa yang melakukan bimbingan dan seminar tidak diijinkan masuk kampus,” ujar seorang dosen.
Dosen Fisip, Rivo Sumampouw mengingatkan agar Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni, Ralfie Pinasang agar tidak melakukan pengancaman secara terbuka terkait kenaikkan uang kuliah tunggal (OKT).
“Tolong dicatat. Itu tidak ada. Kalau ada yang menyampaikan seperti itu tidak benar. Jujur, kami akan proses yang bersangkutan karena itu provokasi,” tegas Pinasang.
Dosen senior Unsrat, Julius Randang saat diminta tanggapannya mengatakan, dalam kondisi seperti saat ini tidak cocok lagi jika hanya menggelar aksi damai.
“Jika ingin berhasil, harus disertai dengan tekanan. Contohnya, saat para hakim memperjuangkan nasibnya, mereka sepakat untuk cuti serentak di seluruh Indonesia,” katanya. (*)